MAKALAH
MENGANALISI KASUS
HUKUM KESEHATAN
Dosen Pengampu
FlorentinaKusyanti,SST
Disusun Oleh
:
Nama : Serly Anjelina
NIM : 16140175
` Kelas : B.13.2
PRODI
DIV BIDAN PENDIDIK
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
RESPATI YOGYAKARTA
2016/2017
KATA
PENGANTAR
Puji serta syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tugas berupa makalah
ini dengan judul “MASALAH HUKUM
KESEHATANN” dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
Penulis
menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
terutama dari dosen mata kuliah serta pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis berharap semoga hasil dari penulisan makalah ini kelak dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Yogyakarta,
12 Februari 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………....……….......... 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………....……......... 2
C. Tujuan…………………………………………………………..................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Menganalisis
Kasus Pelanggaran Hukum Kesehatan.................................. 3
B.
Penyebab Pelanggaran Hukum......................................................................
9
C. Upaya Pencegahan Kasus Pelanggaran
hukum kesehatan………………. 9
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan...................................................................................................... 10
B.Saran
………………………………………………………………………….. 10
REFERENSI....................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah
sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau
mundumya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak
yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat, bidan dan
orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah sakit diharapkan
mampu memahami konsvmennya secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang.
Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus
memperhatikan etika profesi tenaga yang bekerja di rumah sakit yang
bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang bekerja di rumah sakit dalam
memberikan putusan secara profesional adalah mandiri. Putusan tersebut harus
dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan
etika profesi masing-masing (Benyamin Lumenta, 1,989).
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini
hubungan antara dokter dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi
yang dominant, sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa
wewenang untnk melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama
bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan
dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa
olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak
bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam
memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.
Pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan
atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan
orang lain”. (Benyamin Lumenta, 1989). Sudah merasa bahagia apabila kepadanya
dkuliskan secarik kertas. Dari resep tersebut secarc. implisjt telah
menunjukkan adanya pengakuan atas otoritar bidang ilmu yang dimiliki oleh
dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan
sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa
yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang
tahu, ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang
meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran.
Kedudukan yang demikian tadi semakin bertambah kuat karena ditambah dengan
faktor masih langkanya jumlah tenaga dokter, sehingga kedudukannya merupakan
suatu monopoli baginya dalam memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan.
Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan kesehatan ini merupakan psikologis
pihak-pihak yang saling mengikatkan diri tidak berkedudukan sederajat.
Tenaga kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh
pasien, haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati
di dalam melaksanakan tindakan medis. Dari tindakan medis tersebut tidak
menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan
ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas
profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa dari
pasiennya, dan hal ini ttntu saja sangat merugikan bagi pihak pasien. Dari
kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap pasien,
menimbulkan pertanyaan, yaitu; adakah perlindungan hukum terhadap pasien,
dapatkah pasien yang dirugikan menuritut ganti rugi, dan siapa yang harus
bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis
tertarik untuk mengkaji persoalan mengenai “Perlindungan Hukum terhadap Pasien
sebagai Kor.sumen Jasa Di Bidang Pelayanan Medis (Suatu Tinjauan dari Sudut
Hukum Perdata)”
B. Rumusan Masalah
1. Menganalisis kasus mengenai hukum kesehatan?
2. Apa saja penyebab pelanggaran hukum kesehatan?
3. Bagaimana upaya pencegahan dari pelanggaran hukum kesehatan?
C. Tujuan
1. Mampu menganalisis suatu kasus hukum kesehatan
2. Mengetahui penyebab pelanggaran hukum
3. Memahami upaya dalam pencegahan dari pelanggaran hokum
BAB II
PEMBAHASAN
1. Menganalisis kasus pelanggaran hukum
kesehatan
KASUS
DALAM
beberapa hari ini kita disuguhi berita, seorang anak 6 tahun yang dikabarkan
meninggal setelah operasi di sebuah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) di Klaten.
Lepas dari kejadian sebenarnya, apakah penyebab meninggalnya pasien tersebut
karena alergi sebuah obat yang kadang
memang sulit diprediksi, ataukah adanya kesalahan prosedur di RS itu. Yang
jelas peristiwa tersebut menambah panjang daftar kasus dugaan malpraktik
sebelumnya.
Kasus-kasus
sebelumnya yang juga menyita perhatian masyarakat luas seperti dugaan kesalahan
dari interpretasi pemeriksaan darah, yang mengakibatkan pasien harus dicuci
darah, kasus tertukarnya bayi di sebuah RS di Magelang dan tindakan kekerasan
petugas administrasi RS besar di Surabaya terhadap pengantar pasien yang
melontarkan keluhan.
Adanya
sifat yang sangat khas pada layanan kesehatan yaitu adanya asimetri informasi
dimana informasi yang dimiliki oleh provider baik dari RS atau dokter tidak
seimbang dengan yang dimiliki oleh pasien. Suatu hal yang sering membuka
kemungkinan kesalahpahaman. Selain itu kondisi masyarakat yang semakin cerdas
dan semakin terbukanya informasi di berbagai media tampaknya juga mempunyai
andil pada terangkatnya kasus-kasus tersebut.
Berdasarkan
data masyarakat yang mengadukan dokter ke Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) tercatat semakin meningkat.
Menurut
DR Sabir Alwy, SH, MH selaku wakil ketua MKDKI dalam acara konferensi pers
tentang sistem penanganan pengaduan pasien di Jakarta, terungkap berdasarkan
data dari MKDKI jumlah pengaduan mulai tahun 2006 - 2010 berturut - turut ada
9, 11, 20, 36,
49 pengaduan. Khusus pada tahun 2011
sampai bulan Mei ada 10 pengaduan. Total terdapat 135 pengaduan.
Sedangkan sampai dengan tahun 2009 berdasarkan Majalah Kedokteran Indonesia, tuntutan hukum kepada profesi dokter juga mengalami peningkatan. Data yang masuk ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan sebanyak 405 dalam beberapa tahun terakhir. 73 Kasus di antaranya masuk ke dalam laporan ke kepolisian.
Sedangkan sampai dengan tahun 2009 berdasarkan Majalah Kedokteran Indonesia, tuntutan hukum kepada profesi dokter juga mengalami peningkatan. Data yang masuk ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan sebanyak 405 dalam beberapa tahun terakhir. 73 Kasus di antaranya masuk ke dalam laporan ke kepolisian.
Melihat
berbagai kasus gugatan yang sering muncul maka tampaknya ada benang merah di
dalamnya yang menjadi akar permasalahan. Mutu pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh dokter, tenaga paramedis lain serta tenaga administrasi RS masih
harus diperbaiki.
Berkaitan dengan hal tersebut dalam sebuah pidatonya di dalam lustrum ke 13 Fakultas Kedokteran UGM, Menteri Kesehatan menyatakan bahwa salah satu terobosan yang dilakukan untuk mengatasi tantangan pembangunan kesehatan adalah dengan menerapkan ‘world class health care’. Layanan kesehatan tingkat dunia. Sebuah tantangan untuk menjadikan layanan kesehatan kita menjadi pilihan pertama dan utama di negeri sendiri dengan mutu internasional.
Berkaitan dengan hal tersebut dalam sebuah pidatonya di dalam lustrum ke 13 Fakultas Kedokteran UGM, Menteri Kesehatan menyatakan bahwa salah satu terobosan yang dilakukan untuk mengatasi tantangan pembangunan kesehatan adalah dengan menerapkan ‘world class health care’. Layanan kesehatan tingkat dunia. Sebuah tantangan untuk menjadikan layanan kesehatan kita menjadi pilihan pertama dan utama di negeri sendiri dengan mutu internasional.
Namun
sungguh menjadi ironis karena ternyata data mengenai pelayanan kesehatan yang
sudah menerapkan mutu ini sampai sekarang tidak jelas baik untuk RS maupun
puskesmas yang ada. Hal ini juga dibuktikan dengan larinya dana kesehatan
masyarakat ke RS-RS di luar negeri seperti Singapura, Malaysia dan negara lain
yang mencapai 20 Triliun pada tahun 2009 sebagaimana ditengarai oleh ketua
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Fachmi Idris. Tentu saja permasalahan mutu
layanan kesehatan mempunyai andil yang cukup besar selain faktor lain seperti
gengsi, pelarian kasus korupsi maupun adanya rasa ketidakpercayaan terhadap layanan
bangsa sendiri.
Bercermin
dari kasus di atas, maka untuk menurunkan angka - angka tuntutan / gugatan / pelapor
an kepada polisi akibat kasus yang terjadi di RS adalah dengan menginisiasi
mutu pada lembaga pelayanan kesehatan. Tentu saja termasuk mutu tenaga medis
dan paramedis yang juga menjadi tanggung jawab organisasi profesi. Pelatihan
tentang pelayanan prima atau service excellent dari tingkat top manajemen
sampai dengan level terdepan yaitu office boy, kasir, bagian loket serta bagian
informasi, tanpa kecuali.
Sejatinya
esensi dari mutu adalah sebuah ‘upaya pencegahan’ ke arah yang buruk. Untuk
mengantisipasi bila suatu kasus muncul maka penyusunan standard operating
procedure (SOP) menjadi sebuah keniscayaan. Dan hal inilah kelemahan yang sangat
mendasar pada layanan kesehatan kita. SOP pada layanan kesehatan seringkali
tidak/belum ada. Atau bila SOP mungkin ada, namun kepatuhan petugas terhadapnya
juga kadang-kadang masih harus dipertanyakan. (Bersambung hal 13)-c
ANALISIS KASUS
Menurut
berita di atas terdapat beberapa masalah tentang kesalahan medis dan mutu pelayanan kesehatan.
Diantaranya adalah seorang anak yang meninggal setelah operasi yang di duga
akibat alergi obat atau kesalahan prosedur rumah sakit, kesalahan dari
interpretasi pemeriksaan darah, yang mengakibatkan pasien harus dicuci darah,
kasus tertukarnya bayi di sebuah Rumah sakit,
dan tindakan kekerasan petugas administrasi RS terhadap pengantar pasien yang melontarkan
keluhan. Dari kasus-kasus diatas menggambarkan bahwa banyak sekali hal-hal yang
bertentangan dengan hukum kesehatan. Berikut pembahasan masing-masing kasus
beserta hukum kesehatannya.
1. Seorang
anak yang meninggal setelah operasi yang di duga akibat alergi obat atau
kesalahan prosedur rumah sakit.
Kesalahan
pemberian obat adalah suatu
kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan
tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat
dicegah.
Kesalahan
pemberian obat, selain memberi obat yang salah, mencakup faktor lain yang
sekaligus sebagai kompensasi, memberi obat yang benar pada waktu yang salah
atau memberi obat yang benar pada rute yang salah, jika terjadi kesalahan
pemberian obat, perawat yang bersangkutan harus segera menghubungi dokternya atau
kepala perawat atau perawat senior setelah kesalahan itu diketahuinya.
Perawat bertanggung
jawab dalam pemberian obat-obatan yang aman. Perawat harus mengetahui semua
komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika
tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang
direkomendasikan.Secara hukum perawat bertanggung jawab jika mereka memberikan
obat yang diresepkan dan dosisnya tidak benar atau obat tersebut merupakan
kontraindikasi bagi status kesehatan klien.Sekali obat telah diberikan, perawat
bertanggung jawab pada efek obat yang diduga bakal terjadi. Buku-buku referensi
obat seperti , Daftar Obat Indonesia (DOI), Physicians‘ Desk Reference (PDR), dan sumber daya manusia, seperti
ahli farmasi, harus dimanfaatkan perawat jika merasa tidak jelas mengenai
reaksi terapeutik yang diharapkan, kontraindikasi, dosis, efek samping yang
mungkin terjadi, atau reaksi yang merugikan dari pengobatan.
Pasal
55 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : (1) setiap orang berhak
atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.
Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.
Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.
2. Kesalahan
dari interpretasi pemeriksaan darah, yang mengakibatkan pasien harus dicuci
darah.
Terdapat Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 44 tahun 2009 , tentang rumah sakit ,yang mengatakan bahwa rumah sakit
bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Tanggung jawab
hukum rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat
dilihat dari aspek etika profesi, hukum adminstrasi, hukum perdata dan hukum
pidana.
3. Tertukarnya
bayi di sebuah Rumah sakit
Memiliki keturunan merupakan
harapan hampir setiap manusia, seorang ibu akan merasa bahagia dan bangga
apabila melahirkan melewati masa persalinan dengan aman dan pada akhirnya
berjumpa dengan bayi yang telah lama di nantinya. Rumah Sakit memiliki
peraturannya sendiri dalam melaksanakan proses persalinan, peraturan tersebut
tertuang dalam SPO (Standar Prosedur Operasional), dalam prosedur tersebut
sudah ditetapkan tata cara pemasangan gelang pada bayi baru lahir agar bayi
tidak bisa tertukar dengan bayi pasien lainnya dan hal ini merupakan tugas dari
seorang perawat maternitas. Berdasarkan dalam ketentuan Pasal 277 KUHP mengatur
ancaman pidana bagi seseorang yang membuat asal-usul seseorang menjadi tidak
jelas karena salah satu perbuatan sengaja. Berdasarkan teori ini, seorang
perawat yang tidak mengikuti SPO pengidentifikasian bayi baru lahir yang sudah
sepatutnya diketahui masuk ke dalam salah satu perbuatan sengaja yaitu
kesengajaan dengan kemungkinan dan berdasarkan hal tersebut seorang perawat
maternitas patut dikenakan Pasal 277 KUHP yaitu ancaman 6 tahun penjara karena
mengakibatkan asal-usul seorang bayi menjadi tidak jelas/ hilang. Disamping
itu, Rumah sakit juga ikut bertanggungjawab secara Perdata karena Rumah sakit
merupakan badan hukum maka sebagai badan hukum dapat bertanggungjawab atas
apapun kerugian yang diakibatkan oleh orang yang bekerja di dalamnya. Dasar
dari pertanggungjawaban tersebut adalah Pasal 46 UU Rumah Sakit.
4. Tindakan
kekerasan petugas administrasi RS
terhadap pengantar pasien yang melontarkan keluhan.
Semakin meningkatnya kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan, maka semakin berkembang juga aturan dan
peranan hukum dalam mendukung peningkatan pelayanan kesehatan, alasan ini
menjadi faktor pendorong pemerintah dan institusi penyelenggara pelayanan
kesehatan untuk menerapkan dasar dan peranan hukum dalam meningkatkan pelayanan
kesehatan yang berorientasi terhadap perlindungan dan kepastian hukum pasien.
Dasar hukum pemberian pelayanan kesehatan secara umum diatur dalam Pasal 53 UU
Kesehatan, yaitu:
1. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat
ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit
suatu kelompok dan masyarakat.
3.
Pelaksanaan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan
pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
Kemudian dalam pasal 54 UU kesehatan
juga mengatur pemberian pelayanan kesehatan yaitu:
1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanankan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan
nondiskriminatif.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagai dimaksud
pada ayat (1).
3. Pengawasan terhadap penyelenggaraan
pelayanan kkesehatan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan itu sebenarnya
juga merupakan perbuatan hokum yang mengaibatkan timbulnya hubungan hukum
antara pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit terhadap penerima
pelayanan kesehatan, yang meliputi kegiatan atau aktivitas professional di
bidang pelayanan prefentif dan kuratif untuk kepentingan pasien. Secara khusus
dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (b) UU Rumah Sakit, rumah sakit mempunyai
kewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar
pelayanan rumah sakit.
2. Penyebab Pelanggaran Hukum
Seperti
yang dikemukakan kasus diatas diantaranya adalah seorang anak yang
meninggal setelah operasi yang di duga akibat alergi obat atau kesalahan
prosedur rumah sakit, kesalahan dari interpretasi pemeriksaan darah, yang
mengakibatkan pasien harus dicuci darah, kasus tertukarnya bayi di sebuah Rumah
sakit, dan tindakan kekerasan petugas
administrasi RS terhadap pengantar
pasien yang melontarkan keluhan. Kesalahan dari pihak tenaga kesehatan banyak
diakibatkan oleh faktor kelalaian dari petugas maupun pihak rumah sakit. Selain
itu mutu pelayanan terhadap masyarakat yang sangat menurun, yang seharusnya
masyarakat ataupun pasien mendapat pelayanan prima tetapi malah hal sebaliknya
yang terjadi. Dan banyak pula fasilitas maupun alat-alat kesehatan yang tidak
tersedia lengkap. Dalam hal ini Sistem Manajemen Mutu (SMM) bisa jadi menjadi
sangat penting bukan sekedar pada ketersediaan dokter saja atau alat yang
lengkap saja namun adalah sebagai gabungan sistem manajemen yang mengatur semua
sumber daya yang ada untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien
termasuk ketersediaan, kelengkapan dan kepatuhan terhadap prosedur. Selain
faktor kelalaian dan menurunnya pelayanan terhadap pasien. Adapula penyebab
yang dilakukan oleh petugas kesehatan itu sendiri yaitu tidak melakukan tugas
dengan Standar Operasional Prosedur sehinggan banyak kesalahan-kesalahn dalam
melakukan tugas maupun tindakan terhadap pasien. Hal-hal seperti ini lah yang
menyebabkan pelanggaran dalam hokum kesehatan.
3. Upaya Pencegahan Kasus Pelanggaran
hukum kesehatan
Upaya
dalam kasus diatas adalah sebagai petugas kesehatan sebaiknya bekerja sesuai
SOP karena kalau tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan standar yang
berlaku maka untuk kemungkinan kesalahan itu semakin kecil. Mengedepankan kepentingan
umum dan keselamatan pasien. Serta mengetahui hukum-hukum kesehatan yang
berlaku beserta dengan sanksinya agar tidak melanggar hukum tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis kasus diatas dapat di simpulkan
bahwa banyak sekali yang masih melanggar
hukum kesehatan maupun kode etik kesehatan. Dimana kasus yang sering terjadi
adalah kasus kelalaian petugas kesehatan dalam melaksanakan tugas terbukti dari
mereka yang ceroboh dalam bekerja. Banyak juga petugas kesehatan yang bekerja
tidak sesuai dengan standar SOP padahal sudah jelas bahwa Pasal 21-29 No. 36 2009 yang
telah mengatur tentang kode etik dan Standar Operasional Prosedure.
3.2 Saran
Saya menyarankan untuk para petugas
pelayanan kesehatan dapat bekerja sesuai SOP yang ada dan melaksanakan tugas
dengan baik dan semaksimal mungkin. Serta mengetahui Hukum Kesehatan yang
berlaku beserta sanksi pidananya, agar kita dapat berhati-hati dalam melakukan
tindakan terhadap pasien.
REFERENSI
lasmawatibutarbutar.blogspot.com/2014/06/kasus-yang-terjadi-antara-pasien-dan.html
(Diakses tanggal 10 Februari
2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar