MUARA
TEWEH
Muara Teweh adalah ibukota kabupaten
Barito Utara bagian dari provinsi Kalimantan Tengah.
Penduduknya merupakan suku asli Dayak Tewoyan atau juga di sebut Dayak Taboyan,
Dayak
Bakumpai dan Dayak
Maanyan, disamping pendatang dari daerah lain. Adapun
perhutanan, pertambangan batu bara
dan emas
serta perkebunan kelapa sawit
dan karet
adalah produk andalan dari kota Muara Teweh.
Di kota Muara Teweh pernah terdapat benteng
peninggalan Belanda. Lokasinya dahulu terletak pada lokasi Markas Kepolisian
Resor (Mapolres) Barito Utara yang sekarang. Sebagai ibu kota Kabupaten, hingga
sekitar menjelang tahun 1962 masih belum terdapat kendaraan roda empat di kota
ini. Transportasi darat di dalam kota biasanya dilakukan dengan menggunakan
sepeda roda dua sebagai alternatif berjalan kaki. Sedangkan hubungan
transportasi dengan kota-kota lain disekitarnya, umumnya dengan memanfaatkan
transportasi sungai, melalui sungai Barito. Di pinggiran sungai Barito ini
dapat pula terlihat rumah-rumah apung yang dalam bahasa setempat disebut
rumah
lanting. Kendaraan roda 4 baru masuk di kota ini
sekitar tahun 1962, di mulai dengan hadirnya 1 buah mobil jeep (Gaz) dan
1 buah truck, kendaraan dinas yang dimiliki oleh militer.
Dari persfektif
rumpun bahasa Dusun Barito, maka asal nama kota Tumbang Tiwei yang kemudian
berubah menjadi Muara Teweh, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Dalam komunitas Suku Bayan Dusun Pepas, disebut Nangei Tiwei (Nangei=Tumbang, Muara; Tiwei=Ikan Seluang Tiwei).
- Pada komunikasi
Suku Bayan Bintang Ninggi, disebut Nangei Musini (Nangei Musini=Muara Musini).
- Pada Komunitas Suku
Dusun Taboyan Malawaken, disebut Ulung Tiwei (Ulung Tiwei= Muara Tiwei, di mana Ulung Tiwei
ini merupakan rumpun bahasa sebelah Timur/Mahakam. Misalnya, Ulung Ngiram
disingkat Long Ngiram, jadi Ulung Tiwei disingkat Long Tiwei).
- Pada komunitas Dusun Bakumpai/Kapuas, disebutkan Tumbang Tiwei (Tumbang Tiwei=
Muara Tiwei, yang kemudian oleh kolonial Belanda dimelayukan menjadi Muara
Teweh).
- Lebih Jauh, penyebutan nama kota Muara Teweh yang berasal dari kata Tumbang Tiwei tersebut tampaknya sejalan adanya suku-suku Dusun Barito Utara, seperti dikutip dari buku “Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan”, karya Tjilik Riwut (Mantan Gubernur Kalimantan Tengah).
Demikianlah, asal-usul nama kota Muara teweh
dan jenis Suku Dusun Barito Utara. Kendatipun sama Dusunnya dan sama Dayaknya,
akan tetapi Belanda malah membedakan sebutan Suku Dusun Barito dan Suku Dusun
Kapuas-Kahayan. Suku Dusun Barito yang berdiam di Tanah Dusun (Doesen Landen),
disebutnya Dusun Barito, Sedangkan Suku Dusun yang berdiam di Kapuas -Kahayan,
disebutnya Dayak Kapuas Kahayan. Tak jelas, apa makna dan tendensi dari
penyebutan mana yang berbeda tersebut.
Pada masa lalu, banyak rumah betang sebagai
tempat tinggal komunitas penduduk barito utara. Diantaranya rumah betang Lebo
Lalatung Tour, Pendreh, Bintang Ninggi, Lemo, Lebo Tanjung Layen, Butong,
Lanjas, Nihan, Papar Pujung dan Konut Tanah Siang (Mukeri Inas, et.al ;2004).
Rumah Betang dan komunitas penduduk yang menjadi dasar cikal-bakal bagi
komunitas Muara Teweh, yakni Juking Hara dan Tanjung Layen dengan beberapa ciri
pertanda peninggalan sejarahnya masing-masing. Juking Hara dan daerah
sekitarnya adalah tempat dikuburkannya Tumenggung Mangkusari, tempat peristiwa
Bukit Bendera dan Kuburan Belanda serta tempat didirikannya benteng belanda
untuk pertama kalinya Tahun 1865.
Sedangkan Lebo Tanjung Layen (Lebo Tanjung
Kupang) tempat kedudukan kota Muara Teweh sekarang, yakni di sekitar Masjid
Jami Muara Teweh, dengan sungai Kupang yaitu sungai yang membelah Simpang
Merdeka dan Simpang Perwira yang ada hingga saat ini.
Posisi Kabupaten Barito Utara pada 114° 27’ 00” – 115° 49’ 00” Bujur Timur dan
0° 58’ 30”
Lintang Utara – 1° 26’ 00” Lintang Selatan. Wilayah Barito Utara meliputi pedalaman
daerah aliran Sungai
Barito yang terletak pada ketinggian sekitar 200-1.730 m dari
permukaan laut. Bagian selatan merupakan dataran rendah dan bagian utara
merupakan dataran tinggi dan pegunungan. Potensi
terbesar kawasan ini ada pada sektor kehutanan, pertambangan (batubara dan emas),
sedangkan untuk sektor perkebunan adalah kelapa sawit
dan karet.
Sektor kehutanan dan perkebunan karet sudah cukup lama turut menyumbang
pemasukan bagi negara sedangkan sektor pertambangan seperti tambang emas juga
memberi andil yang cukup besar. Tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit
saat ini sudah mulai berproduksi yang nantinya diharapkan dapat memberikan
pemasukan yang cukup besar bagi negara dan daerah.
Jumlah penduduk Kabupaten Barito Utara
sekitar 120.607 jiwa dengan klasifikasi 62.439 laki-laki dan 58.168 perempuan
serta jumlah Rumah Tangga sebanyak 30.445 KK (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).
Tempat
Wisata Muara Teweh
1.
Air
Terjun Jantur Doyan
Air Terjun Jantur Doyan menjadi tempat favorit
yang dikunjungi masyarakat di Kabupaten Barito Utara dan sekitar. Air terjun
itu terletak sekitar 18 kilometer dari Kota Muara Teweh, ibu kota Kabupaten
Barito Utara.
Terdapat gerbang masuk
yang besar. Di dekatnya, ada sebuah warung dan lahan untuk parkir mobil.
Sebenarnya mobil maupun sepeda motor bisa masuk ke dalam jika kondisi jalan
sedang kering.
Jarak kawasan air
terjun dari gerbang mencapai sekitar 500 meter. Selama perjalanan menuju
lokasi, di kiri dan kanan jalan, terdapat pepohonan yang besar, teduh, dan
sangat sejuk. Untuk bisa sampai ke lokasi air terjun, ada tangga kayu yang
didesain sedemikian rupa sehingga pengunjung betah berada di lokasi tersebut.
Air terjun itu
memiliki tinggi sekitar empat meter. Di bawah air terjun, terdapat hamparan
berbatuan yang mengalirkan air terjun ke sungai kecil. Di samping kiri dan
kanan, tampak tebing yang curam membentuk 90 derajat.
walau jalan kesana
agak susah tp akan terbayarkan dengan pemandangan yang eksotis... dengan
adanya ikut andilnya pihak dari sekitar masyarakat dalam mengelola semoga
daerah ini menjadi pilihan bagi wisatawan kedepannya... semoga semakin maju
kedepannya dan di harapkan adanya andil dari pihak masyarakat, pemerintah dan
dari segala aspek agar semua menjadi lebih maju di masa akan datang.
2.
Gunung Lumut
Berada di Kecamatan Gunung Purei,
Kabupaten Barito Utara, Gunung Lumut yang masih menjadi bagian dari kawasan
Pegunungan Schwaner dan Muller di "jantung" Kalimantan menyimpan keistimewaan
tersendiri. Gunung yang memiliki luas sekitar 8.000 hektare (ha) dan memiliki
puncak tertinggi sekitar 1.210 mdpl tersebut saat ini menjadi bagian dari
kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut dengan luas sekitar 28.000 ha.
Informasi siapa saja yang pernah
mencapai puncak tertinggi gunung tersebut masih simpang siur meski ada penduduk
dari salah satu desa terdekat yang membenarkan soal keberadaan patok milik
Belanda di puncak gunung.Pada satu kesempatan dalam media trip bersama WWF
Kalimantan Tengah untuk mengobservasi kawasan Gunung Lumut dan Desa Muara Mea
pada tanggal 11--20 November 2013, Kepala Adat Desa Muara Mea Mantung
mengatakan puncak dari gunung yang memang disakralkan masyarakat Dayak penganut
Kaharingan tersebut tidak dapat didaki.
"Tidak
bisa sampai puncak, bisa mati," ujar Mantung.
Terlepas dari
unsur mistis yang menjadi kepercayaan masyarakat desa di sekitar gunung
tersebut, medan menuju puncak-puncak Gunung Lumut memang tidak mudah. Ketua
Yayasan Gunung Lumut-Muller Syahdan Sindrah yang pernah mendampingi Tim
Ekspedisi Muller Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melakukan
penelitian di gunung tersebut pada tahun 2003 mengaku hanya sampai di puncak
kelima dengan ketinggian sekitar 1.040 mdpl. Setelah 23 hari melakukan
penelitian, menurut dia, tim ekspedisi dari LIPI ini memutuskan untuk turun.
Salah satu yang menjadi alasan karena tidak ada lagi sumber air yang dapat
dipergunakan untuk bertahan hingga ke puncak tertinggi, yakni puncak ketujuh
Gunung Lumut tersebut. Baik Mantung maupun Syahdan membenarkan adanya udang
yang hidup di antara lumut-lumut tebal di gunung tersebut. Mantung pun mengaku
pernah melihat kura-kura dengan leher panjang yang hidup tidak jauh dari salah
satu danau kecil di sana. Sesuai namanya, gunung ini memang memiliki
keistimewaan berupa hamparan-hamparan lumut yang menutupi tanah, batu, batang
pohon, hingga ranting.
Menurut Syahdan, ketebalan lumut
tersebut makin menjadi-jadi di atas ketinggian sekitar 900 mdpl meski di
ketinggian sekitar 600 mdpl pun hamparan lumut sudah dapat terlihat.
"Kalau kita masuk, bisa sampai ke paha atau pinggang. Jadi, harus
hati-hati kalau melangkah, takutnya terperosok. Kadang di bawah lumut itu ada
tikus hutan atau hewan-hewan kecil lain hidup di sana," lanjutnya.
Observasi
Gunung Lumut
LIPI mendapat kepercayaan untuk
melakukan survei potensi keanekaragaman hayati di pegunungan Mueller dengan
membentuk Tim Ekspedisi Mueller yang melibatkan beberapa ahli dan terbagi dari
tiga bagian yang berlangsung mulai dari 2003 hingga 2005. Ekspedisi tersebut
berhasil menginventarisasi 1.200 jenis tumbuhan, 159 jenis burung, 24 jenis
kupu-kupu, 282 jenis ngengat, 17 jenis reptil, 11 jenis ampibi, 41 invertebrata
gua, dan 82 jenis ikan. Tercatat pula sedikitnya 40 jenis tumbuhan, sembilan
jenis ikan, dan 10 jenis burung yang endemik Kalimantan. Dalam ekspedisi selama
tiga tahun tersebut juga tercatat ditemukan 10 jenis tumbuhan dan delapan satwa
berupa enam jenis burung, satu jenis macan dahan, dan satu jenis bulus yang
langka.
Selain itu, ditemukan pula lima
jenis ikan dan satu jenis tumbuhan yang termasuk jenis yang baru, serta
sejumlah jenis flora dan fauna yang diduga jenis baru seperti Thismia
mullerensis. Namun, temuan tersebut memang tidak seluruhnya berasal dari Gunung
Lumut karena ekspedisi tersebut dilakukan di Bukit Batikap, hulu sungai Busang,
Sapathawung, Batu Ayam di Kabupateng Murung Raya, hingga Gunung Lumut di
Kabupaten Barito Utara. Observasi selama dua hari dua malam yang dilakukan WWF
Kalimantan Tengah dan sejumlah media nasional dan daerah bersama beberapa staf
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Barito Utara di kawasan Hutan Lindung
Lampeong-Gunung Lumut pun dapat menginventarisasi beberapa jenis tumbuhan.
Dalam pendakian hingga ke puncak
Bawo Biang atau Bukit Beruang setinggi 761 mdpl di kawasan Hutan Lindung
Lampeong-Gunung Lumut yang ditempuh dalam waktu hampir selama empat jam dari
Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) PT Indexim Utama tersebut rombongan
juga menemukan jejak fauna yang menjadi penghuni hutan lindung tersebut. Pada
ketinggian sekitar 500 mdpl ditemukan tempat bertengger Merak dan kubangan
bekas babi hutan, sedangkan di puncak Bawo Biang sebuah pohon tampak berlubang
relatif cukup besar yang menurut Kepala Adat Desa Muara Mea Mantung, lubang
tersebut dibuat oleh Beruang Madu yang mencari rayap. Sepanjang pendakian
tersebut rombongan sering ditemani suara burung Rangkong atau pun Bubut,
sedangkan lipan, rayap, semut besar, ulat bulu, lintah daun, pacet tanah, dan
pacet daun mudah ditemui. Beberapa jenis
anggrek pun dapat dijumpai salah satunya adalah anggrek macan. Meski belum
sampai di Gunung Lumut, berbagai jenis lumut maupun jamur mudah dijumpai di
Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut.
Kekayaan hayati kawasan hutan
lindung yang merupakan bagian dari Pegunungan Muller memang ini memang diakui
oleh LIPI. Sulitnya medan menuju puncak Gunung Lumut ini pula yang dipercaya
membuat vegetasi di puncak gunung masih terjaga dengan baik. Posisi gunung yang
berada paling hulu dan tertinggi jelas membuat kawasan ini sangat penting
sebagai daerah penyangga bencana banjir bagi 27 desa di bagian hilir di tepian
Daerah Aliran Sungai (DAS) Teweh, 16 desa di tepian DAS Montallat, dan puluhan
desa di tepian DAS Ayoh wilayah Kabupaten Barito Selatan. Kehilangan kawasan
Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut ini jelas bencana bagi puluhan ribu jiwa,
bahkan hingga ratusan ribu orang. Perlindungan kawasan ini dari aksi pembalakan
liar dan pertambangan menjadi sangat penting dilakukan dengan segera sehingga
tidak heran jika masyarakat sekitar sendiri yang mengajukan kawasan ini menjadi
taman nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar